Ahad, 5 Disember 2010

Terima kasih cikgu!

Nagaku lari,
Bukan berdiri,
Terbang tinggi,
Kemana pergi?

Watak naga yang sinonim ku baca,
Kenapa kamu terlalu teruja ya?

Nagaku merah berani pula,
Sisiknya cantik matanya dua,
Lentik pula bulu matanya,
Memandang manusia bagai nak gila.

Aha begitulah, baru dapat ku faham luahan rasa.
;)

Bagaimana bisa ku sambung ujamu pada si naga?
Bila aku tak jumpa naga yang bikin mau pada jiwa?

Nagaku terbang tinggi ke awan,
Meninggi awan halilintar melawan,
Jiwaku inilah naga misteri,
Terbang kejiwa seloka puisi.

Jadi apa kau cuba merasuk perasaanku, si naga kecil?
Menerbit teruja sama hormat yang cuma dari aku?

Nagaku kecil merahnya terang,
Pantasnya alahai tak tenang,
Terujamu pada naga kecilku,
Puisiku menyantau jiwamu.

Nanti ku panggil si dukun emosi,
Hitam di susuk jiwanya jernih, barangkali?

Nagaku bersisik hitam dan merah,
Matanya lentik dan panjang lagi,
Sisikku hitam jiwaku putih,
Bagaimana hendak naga kecilmu jelaskan lagi?

Sesungguhnya kau tak faham, naga kecil.

Hai si dukun emosi masih menggumam suara,
Sedang aku percaya jemarinya mahu berlari membertih kata?

Naga kecil bersuara lagi,
Kisah mimpi yang memberani,
Si dukun emosi merah dipipi,
Jemarinya belum berinteraksi lagi.

Benarkah?
Izin ku tanya lagi.
Kadang emosi lancar dari tinta ditulis!

:(
Pelawaan tak bersambut.
Apa tak sudi juga dia menyahut kata.

Hai si naga kecil, tinggallah kita.

Nagaku kecil bermadah lagi,
Usahanya terbang dimimpiku lagi,
Si dukun emosi mengundur diri,
Kita berdua bersua lagi.

Inginku curahkan mimpi ini,
Si dukun berjaya menawan,
Seorang gadis hangat diperkatakan,
Siapakah gadis idaman?

Yang diidam,
Apakah tak sama dengan yang dapat di tangan?
Yang dulu diimpi,
Apakah cuma tinggal sepi... Sendiri?

Muncungnya panjang sekali,
Hidupnya sendiri,
Tapi dihati berbunga lagi.

Bunga raya disimpan dihati,
Siapa gadis pilihan si dukun emosi?
Tak pernahku bayangkan,
Mimpiku jauh sekali. -_-

Apa untungnya menjadi penjaja rasa,
Kerana si bunga tertunggu pasti dari yang dipuja,
Kasihan.
Jangan timbul iri dan sengketa!

Aku pandang gelora usiamu, hai si naga kecil.
Kalau tak upaya menggapai awan,
Biar berhenti dulu di puncak gunung.
Bimbang jatuhmu sakit tak upaya diubat.

Awannya tinggi berhalilintar lagi,
Si naga kecil tetap mahu berdiri.
Kenapa aku berkeras hati?
Duniaku luas, pandangan menawan.

Langit berguruh mentari sembunyi,
Apa semua ini?

Hai si naga kecil,
Melawan arus itu memang rasa yang hebat bila kau tak kalah!

Bagaimana mahu jadi pemenang kehidupan?
Cukup tajamkah siungmu, si naga kecil?
Cukup ampuhkah tenagamu, si naga kecil?

Mari sini si naga kecil berbicara,
Bahasa puisiku dendangkan disini.

Aku sudah melanggar halilintar,
Aku sudah melawan arus peperangan,
Aku sudah memendungkan awan,
Mengunakan siung rahsiaku.

Mulut robek, jiwa gantung.
Siung aku sorok, tenaga aku di awangan.

Barangkali ini sekadar bongkak yang berhamburan?
Kalau diukur jarak hidupmu sayang,
Wajarkah kau bicara akan kemenangan yang cuma sekelumit,
Tak terukur dengan langkah berduri yang nanti di hadapan?

Aku pernah merasa segagah naga,
Siungku saban masa tajam berasah,
Tapi nah!
Hari ini aku cuma ini,
Bukan lagi si naga merah berani,
Tinggal debu hitam kelubung dek terbakar kalah sendiri.

Kecilnya hati sekecil aku ini,
Sanggupkahku teruskan ini lagi?

Aku dikurung disangkar malu,
Mimpi membasahi jiwa mengering,
Kotak hatiku mahu memberhenti,
Menunggu cik menutup soalan ini..

Penat sudah?
Atau bosan melawan hujah?
Sedang sekalian sedang riuh-rendah,
Dan kau resah menunggu kata yang tak sudah?

Nah.
Ini bicara yang sudah ditutup.

--Tulisan membengkok sebegini adalah tulisan dari
Cikgu fairuz.rahman.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan